Thursday, September 18, 2008

smilling

Teman-teman ini ada cerita menginspirasi dari kiriman teman , semoga bermanfaat
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling"..
Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus... Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering...! Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, dan... tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil...! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.....

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya....
Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam... tapi juga memancarkan kasih sayang...!

Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu... Ia menyapa "Good day..!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin.. setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka...,dan kami bertiga tiba-2 saja sudah sampai didepan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan... Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir... Nona !" Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba-2 saja saya diserang oleh rasa iba... membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-2 lainnya, yang hampir semuanya...sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya..., dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya...

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum... dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. .. saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap.. "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua...."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2... dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya...."
Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata... "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian...."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu....

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka... dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata... "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku..., yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku...! " Kami saling
berpegangan tangan beberapa saat...... dan saat itu kami benar-2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' .. untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang

lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya... mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami... Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap.. "tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini..., jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami..." Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah kami...!

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap
kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya dan sekaligus merupakan 'hidayah' bagi saya..., maupun bagi orang-2 yang ada disekitar saya saat itu. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali...!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari
kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca.... para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi... Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya... membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya
diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya .. "Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu..."


Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus... dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu : "PENERIMAAN TANPA SYARAT".


wassalam

Rery Indra

Thursday, September 4, 2008

Kebahagiaan Diperoleh Dari Memberi

ini ada sebuah cerita menginspirasi yang diperoleh dari seorang teman.

Kisah ini bercerita tentang seorang wanita cantik bergaun mahal yang mengeluh kepada psikiaternya bahwa dia merasa seluruh hidupnya hampa tak berarti.

Maka si psikiater memanggil seorang wanita tua penyapu lantai dan berkata kepada si wanita kaya," Saya akan menyuruh Mary di sini untuk menceritakan kepada anda bagaimana dia menemukan kebahagiaan. Saya ingin anda mendengarnya. "

Si wanita tua meletakkan gagang sapunya dan duduk di kursi dan menceritakan kisahnya:"OK, suamiku meninggal akibat malaria dan tiga bulan kemudian anak tunggalku tewas akibat kecelakaan. Aku tidak punya siapa-siapa. aku kehilangan segalanya. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, aku tidak pernah tersenyum kepada siapapun, bahkan aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Sampai suatu sore seekor anak kucing mengikutiku pulang. Sejenak aku merasa kasihan melihatnya.

Cuaca dingin di luar, jadi aku memutuskan membiarkan anak kucing itu masuk ke rumah. Aku memberikannya susu dan dia minum sampai habis. Lalu si anak kucing itu bermanja-manja di kakiku dan untuk pertama kalinya aku tersenyum.

Sesaat kemudian aku berpikir jikalau membantu seekor anak kucing saja bisa membuat aku tersenyum, maka mungkin melakukan sesuatu bagi orang lain akan membuatku bahagia. Maka di kemudian hari aku membawa beberapa biskuit untuk diberikan kepada tetangga yang terbaring sakit di tempat tidur.

Tiap hari aku mencoba melakukan sesuatu yang baik kepada setiap orang. Hal itu membuat aku bahagia tatkala melihat orang lain bahagia. Hari ini, aku tak tahu apa ada orang yang bisa tidur dan makan lebih baik dariku. Aku telah menemukan kebahagiaan dengan memberi."

Ketika si wanita kaya mendengarkan hal itu, menangislah dia. Dia memiliki segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang namun dia kehilangan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.

wassalam

Rery Indra
TNM-E20

Menjadi Ikhlas

Banyak diantara kita terjebak dengan kata ikhlas, sehingga mereka menjadi pasrah, pasrah dan ikhlas memiliki perbedaan yang amat jauh tapi jika kita tidak hati-hati maka kita menjadi pasrah. pasrah berarti meneriman sesuatu tanpa hasil usaha, sedangkan ikhlas kita menerima apapun hasil yang kita dapatkan setelah kita melakukan usaha, suatu makna yang dalam . walaupun begitu mungkin pengertian ikhlas bisa jadi tidak saman antara manusia satu dengan lainnya.
keikhlasan merupakan wilayah tertinggi didalam dunia tassawuf, sebagaimana yang tertulis didalam Al-Qur'an Q.S Shad[83] : 82-83 dimana artinya bahwa iblispun takut kepada orang-orang yang mukhlis (ikhlas), kitapun bertanya kenapa bukan orang-orang yang rajin shalat, rajin puasa , rajin sedekah dll, tapi kenapa orang-orang yang ikhlas. disinilah mengapa bahwa untuk orang-orang yang ikhlas hanya ALLAH SWT yang tahu.
Sebenarnya keikhlasan dimulai dari niat kita, sebagai contohnya sebelum kita shalat kita niat dulu, apa niatnya Lillahi Ta'ala (ikhlas) sebelum berpuasa niatnya Lillahi Ta'ala (ikhlas) jadi segala sesuatunya kita niatkan hanya kepada ALLAH bukan hanya untuk surga dan neraka ataupun pahala. niat adalah ruh amal dan ikhlas adalah inti amal.sedangkan ikhlas itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatannya sendiri-sendiri, manusia berbeda tingkatan-tingkatannya antara yang satu dengan yang lainnya walaupun tidak menutup kemungkinan jika ada yang sama.
jadi sudahkan kita menjadi manusia yang ikhlas ?? bagaiman melatih diri menjadi manusia yang ikhlas ??? latihan-latihan untuk menjadi ikhlas banyak jenisnya dan merupakan latihan yang tidak gampang banyak godaannya , banyak buku-buku yang membahas latihan-latihan riyadhah dan mujahadah agar kita bisa menjadi lebih ikhlas seperti buku ihya' ullumuddin karangan imam Ghazali, buku qut al-qulub karangan abu thalib al-Makki (dalam bahasa indonesia judulnya nutrisi hati), kitab al-hikam karangan imam Ibn Atha'illah dll.
mohon maaf bila ada yang tidak berkenan.
wassalam

Rery Indra
www.reryindra.blogspot.com

Sunday, August 17, 2008

Perjalanan Seekor Kupu-kupu

Sebelum menjadi seekor kupu-kupu yang indah maka seekor ulat akan menjalani fase kepompong, disini proses dari sekeor ulat yang jelek dan kotor akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah akan melalui proses kepompong.
demikian juga seorang manusia, dia akan berubah dari seorang manusia yang penuh dosa akan berubah menjadi seorang yang indah seperti kupu-kupu juga akan mengalami proses kepompong juga, demikian juga seorang pengusaha sebelum menjadi pengusaha sukses maka dia akan mengalami proses kepompong, sebagai contoh adalah baginda Rasul, sebelum diangkat menjadi rasul beliau juga memasuki fase kepompong juga yaitu beliau berkhalwat didalam gua hira, ini adalah fase kepompong dari baginda Rasul kita, nah kalau didalam dunia usaha apakah fase kepompong itu !!! inilah yang dinamakan proses, pada saat kita berusaha menjalankan suatu usaha kita akan mengalami proses naik-turun , utung-bangkrut dsb inilah fase kepompong para pengusaha itu, banyak dari para pengusaha mengalami fase kepompong yang tidak ringan, contohnya adalah kolonel sanders, berapa banyak yang menolak resep ayam yang ditawarkan tapi dia tidak pernah menyerah, sampai akhirnya sekarang kita tau bahwa KFC merupakan salah satu waralaba terbesar didunia demikain juga dengan Thomas Alfa Edison, dia mengalami kegagalan sampai ribuan kali tapi akhirnya dia dapat menciptakan bola lampu dan disusul dengan penemuan2 lain.
Bagaimanakah dengan kita apakah kita sudah memasuki fase kepompong, dan siapkah kita memasuki fase kepompong kita, hal-hal apa saja yang harus kita siapkan !!!.
selamat berusaha, mohon maaf bila tidak berkenan.

Rery Indra
TNM-E20

Friday, June 20, 2008

Penghulu Para Sufi

KH. Jalaluddin Rakhmat

Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi wassalam untuk Nabi Muhammad. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu.

Pertama, di antara semua sahabat Nabi SAW, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil sehingga tak sempat beribadah kepada berhala. Artinya, wajahnya tak pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah swt.

Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Dalam sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur. Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr. Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr.

Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan tampan. Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”. Umar bin Khattab pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!” Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan julukan ashla, Rasulullah SAW berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.”

Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah, kejadian itu sering menimpanya.”

Bagi Imam Ali, shalat tidak merupakan peristiwa biasa namun adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin:

Suatu hari, menjelang waktu shalat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang waktu shalat. Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit, bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus memikulnya.”

Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa shalat bukanlah kejadian biasa. Shalat adalah amanat yang di dalamnya mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusyukan itu di dalam shalat kita. Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukminun; 1)

Imam Ali juga dikenal karena shalatnya yang khusyuk. Banyak sahabat yang memuji shalat Ali sebagai shalat yang mirip dengan shalat Rasulullah SAW. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama ‘Umran bin Husain, shalat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada shalat yang dilakukan Rasulullah SAW.” ‘Umran terkesan akan shalat Ali bukan karena gerakan-gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.

Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Mu’tazilah, bercerita tentang ibadah Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadah dan yang paling banyak shalat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang banyak belajar tentang shalat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan wirid dan menunaikan ibadah-ibadah nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih mendirikan shalat. Sesudah shalat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.”

Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat sederhana. Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang. Fathimah berkata pada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?” Ali enggan menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat malu. Ia meminta Fathimah-lah yang memintakan hal itu. Pergilah Fathimah menemui Rasulullah SAW. Begitu ia berada di hadapan Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi. Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu tapi Rasulullah tak menjawab permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut akan kemurkaan Rasulullah.

Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin. Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?” Rasulullah SAW kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh keluarganya itu seusai shalat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan takbir. Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya dalam setiap keadaan.

Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah yang teramat sangat kepada Imam Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali. Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk bercerita tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin! Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu. Perintahkan aku untuk melakukan hal lain saja.”

“Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan mengampunimu.” Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat indah. Terjemahannya sebagai berikut:

“Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang sederhana dan makanan yang keras.”

“Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya tampak bagai untaian mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya sementara orang yang lemah tak putus asa di sisinya.”

“Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada sebagian tempat ibadahnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana.....”

“Ia menggigil di hadapan kekasihnya. Kepada dunia, ia berkata: Kepadaku kau datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek, posisimu rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya perantauan.”

Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan. Meskipun ia amat membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya disembelih di pangkuannya. Air matanya takkan pernah kering, dukanya panjang dan takkan pernah usai.”

Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula. Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih. Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar menangis.”

Nabi SAW bersabda, “Jika engkau membaca Al-Quran, menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau menangis.” Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon:

“Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena hati yang keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya dosa."

Keharuman Pribadi Imam Ali Bin Abi Thalib

Dalam rangka usaha meluruskan pengertian kaum muslimin mengenai ajaran agama Islam yang berkaitan dengan kewajiban berusaha mencari nafkah penghidupan, Imam 'Ali selalu memberi pengertian kepada kaum muslimin mengenai beberapa pokok ajaran Islam, antara lain:

1). Nilai seseorang tergantung pada kadar kemauannya.

2). Bukankah kemiskinan itu termasuk cobaan hidup? Ketahuilah, bahwa kemiskinan yang terberat itu adalah penyakit jasmani. Dan penyakit jasmani yang terparah adalah penyakit hati. Kesehatan badan lebih berharga daripada kecukupan harta, dan hati yang bertaqwa lebih berharga daripada badan yang sehat.

3). Barangsiapa yang enggan bekerja ia akan menghadapi cobaan hidup, dan Allah tidak membutuhkan orang yang tidak mengindahkan nikmat yang dikaruniakan dalam harta dan jiwanya.

4). Orang yang bahagia adalah yang dapat menarik pelajaran dari orang lain, orang yang sengsara ialah orang yang tertipu oleh hawa nafsunya.

5). Hai para hamba Allah, janganlah sekali-kali kalian terkecoh oleh kebodohan kalian, dan jangan pula kalian menuruti hawa nafsu kalian. Orang yang tunduk kepada dua hal itu ia berada di tepi jurang terjal.

6). Ilmu pengetahuan wajib diikuti dengan amal perbuatan. Barangsiapa berilmu ia harus beramal. Dengan amal ilmu akan meningkat tinggi dan tanpa amal, ilmu akan merosot.

7). Amal perbuatan adalah buah ilmu pengetahuan. Orang berilmu yang berbuat tidak sesuai dengan ilmunya, sama dengan orang bodoh yang kebingungan dan tetap bodoh. Bahkan orang seperti itu kesalahannya lebih besar, lebih pantas disesali dan di hadirat Allah ia akan menjadi orang yang paling menyesal. Orang yang bekerja tanpa ilmu sama dengan orang yang bepergian tanpa kenal jalan, sehingga orang lain yang melihatnya akan bertanya-tanya: "berpergiankah atau pulang?!?"

8). Barangsiapa dikaruniai kekayaan oelh Allah hendaklah ia memperhatikan kaum kerabatnya, menghormati dan menjamu tamu sebaik-baiknya, membebaskan tawanan perang dan melepaskan orang dari penderitaan, membantu kaum fakir miskin dan orang yang tenggelam di dalam hutang demi kebajikan, dan hendaknya ia bersabar tidak menuntut hak karena ingin mendapatkan pahala semata-mata. Sifat-sifat demikian itu merupakan keberuntungan yang akan menghantarkan orang ke arah kemuliaan di dunia dan insya Allah merupakan pembuka jalan baginya untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat.

9). Bekerjalah dengan sekuat tenagamu, janganlah engkau menjadi penumpang hasil kerja orang lain.

10). Janganlah engkau malu kalau hanya dapat memberi sedikit, karena dapat memberi sedikit lebih baik daripada tidak dapat memberi. Jadilah engkau seorang yang penyantun, tetapi jangan menjadi seorang yang pemboros. Jadilah engkau seorang yang hemat, tapi jangan menjadi seorang yang kikir.

11). Janganlah engkau menjadi orang yang tidak mempan peringatan, karena orang yang berakal cukup diperingatkan dengan tutur-kata yang baik, sedangkan hewan tak dapat diperingatkan kecuali dengan pukulan.

12). Hati manusia dapat merasa jemu dan lesu sebagaimana badan juga merasa jemu dan lesu. Karena itu carilah ilmu dan hikmah sebagai obatnya.


Imam 'Ali berpendapat, orang yang hidup dicengkeram kemelaratan tentu kehilangan ketenangan dan ketentramannya. Sukar baginya untuk menghayati kejujuran, perilaku yang baik dan menghias dirinya dengan sifat-sifat utama. Sukar pula baginya untuk membuang rasa iri hati dan dengki dari lubuk hati. Maka itu ia mudah terperosok ke dalam penyelewengan yang tidak baik.

Benar bahwa Imam 'Ali hidup zuhud dan menganjurkan kezuhudan, demikian juga dengan beberapa sahabat Nabi semisal Abu Dzar Al-Ghifari. Akan tetapi mereka tak pernah menganjurkan untuk lebih suka hidup melarat daripada berkecukupan. Imam 'Ali tidak jemu-jemunya mengingatkan kepada kaum muslimin, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhirat seakan-akan engkau mati esok hari."

Menurut Imam 'Ali upaya memperoleh rizki dengan jalan yang benar dan lurus tidak akan mendatangkan hasil lebih besar daripada yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan. Dengan tegas dan jelas Imam 'Ali berkata: "Jika kalian menempuh jalan kebenaran, tentu akan terbuka jalan yang menyenangkan kalian dan tidak akan ada orang lain yang menggantungkan penghidupannya kepada orang lain."

Berdasarkan pengamatan yang tajam dan cermat Imam 'Ali as yakin bahwa kemelaratan dapat menjerumuskan manusia ke dalam kekufuran. Karena itulah ia memerangi segenap kekuatan yang ada, serta dengan tegas dan tandas mencemoohkan orang-orang yang menganjurkan atau membagus-baguskan kemelaratan dengan dalih kezuhudan. Memang kalau hidup zuhud akan menambah iman dan taqwa kepada Allah Ta'ala, akan tetapi kalau kemelaratan akan membawa ke dalam kekufuran. Dimana nanti kita akan 'menyembah' selain-Nya. Itu bisa harta dan juga kekuasaan. Maka itu seumpamanya kemelaratan itu berupa manusia, seharusnya kita membunuhnya.

Ini hanya secuil dari sekian banyak hikmah yang bisa kita temukan dalam diri Imam 'Ali, karena Imam 'Ali as adalah mahasiswa utama yang menimba ilmu dari mahaguru umat sedunia, Muhammad SAW. Yang mana, Rasulullah SAW bersabda: "Hai 'Ali, Allah telah menghias dirimu dengan hiasan yang paling disukai-Nya, Allah mengaruniaimu perasaan mencintai kaum lemah hingga Allah membuatmu puas (ridho) mempunyai pengikut mereka dan mereka pun puas engkau menjadi pemimpin mereka."[]

MEMBALAS KEBENCIAN DENGAN KASIH SAYANG

KH. Jalaluddin Rakhmat

Salah seorang di antara tokoh besar dalam dunia kesucian adalah orang Mesir yang bernama Dzunnun. Karena ia berasal dari Mesir, maka ia dikenal dengan sebutan Dzunnun Al-Mishri, Dzunnun Si Orang Mesir.

Ketika ia masih hidup, orang-orang tidak mengenalnya sebagai orang yang dekat dengan Allah. Ia malah lebih banyak dicela dan dicemooh orang karena dianggap kafir, ahli bid’ah, dan orang murtad. Ia tidak pernah membalas semua tuduhan itu dengan kemarah-an atau serangan balik. Ia bahkan menunjuk-kan dirinya seakan-akan ia mengakui seluruh celaan itu. Selama ia hidup, orang-orang tidak mengetahui bahwa Dzunnun adalah salah seorang di antara waliyullah, kekasih Allah. Orang mengetahui kedekatannya dengan Tuhan setelah Dzunnun meninggal dunia.

Menurut Al-Hujwiri, pada malam kematian Dzunnun, tujuh puluh orang bermimpi melihat Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Nabi bersabda, “Aku datang menemui Dzunnun, sang wali Allah.” Sesudah kematian-nya, konon di atas keningnya tertulis: Inilah kekasih Tuhan, yang mati karena mencintai Tuhan, dan dibunuh oleh Tuhan.

Masih menurut Al-Hujwiri, pada saat penguburan Dzunnun, burung-burung di angkasa berkumpul di atas kerandanya sambil mengembangkan sayap mereka seakan-akan ingin melindungi jenazahnya. Pada saat itulah orang-orang Mesir menyadari kekeliruan mereka dalam memperlakukan Dzunnun selama ini.

Ada banyak kisah tentang Dzunnun dan hampir semua kisah hidupnya itu menjadi pelajaran yang amat berharga. Kisah-kisah itu menjadi petunjuk bagi kita dalam mendekati Allah swt. Di antara kisah-kisah yang dituturkan tentang Dzunnun adalah satu kisah ketika ia berlayar bersama para santrinya dengan sebuah perahu di atas sungai Nil.

Alkisah, pada suatu hari, berlayarlah mereka di sungai Nil. Yang sedang berekreasi di sungai itu bukan hanya orang-orang saleh seperti Dzunnun dan para santrinya, tetapi juga orang-orang yang menggunakan rekreasi sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan. Di tengah jalan, bertemulah dua kelompok perahu yang mempunyai “ideologi” yang berbeda itu. Pada perahu yang satu, terdapat Dzunnun, sang kiai, bersama para santrinya. Mereka melantunkan zikir kepada Allah swt. Pada perahu yang lain, ada sekelompok anak muda yang memetik gitar, berhura-hura, berteriak-teriak, dan berperilaku yang menjengkelkan santri-santri Dzunnun.

Karena para santri percaya bahwa doa-doa Dzunnun pasti diijabah, mereka meminta Dzunnun untuk berdoa kepada Allah supaya perahu anak-anak muda itu ditenggelamkan Tuhan jauh ke dasar sungai Nil. Dzunnun lalu mengangkat kedua belah tangannya dan berdoa: Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan orang-orang itu kehidupan yang menyenangkan di dunia ini, beri juga mereka satu kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti.

Santri-santrinya tercengang. Semula mereka berharap Dzunnun akan mendoakan anak-anak muda yang ugal-ugalan itu agar ditenggelamkan Tuhan karena anak-anak muda itu memandang kehidupan hanya semata-mata kesenangan saja. Tapi aneh bin ajaib, Dzunnun hanya berdoa seperti di atas. Para santri terkejut mendengar doa Dzunnun.

Ketika perahu anak-anak muda itu mendekat, mereka melihat Dzunnun ada di perahu itu. mereka menyesal dan meminta maaf. Entah bagaimana, memandang wajah Dzunnun membawa mereka kepada kesucian. Mereka meremukkan alat-alat musik mereka dan bertaubat kepada Tuhan.

Waktu itulah Dzunnun memberi pelajaran kepada para santrinya, “Kehidupan yang menyenangkan di akhirat nanti adalah bertaubat di dunia ini. Dengan cara begini, kalian dan mereka puas tanpa merugikan siapa pun.”

Kita tertarik dengan cerita Dzunnun ini. Kita terbiasa untuk menaruh dendam kepada orang-orang di sekitar kita. Seringkali setelah kita menjalani kehidupan yang baik, kita jengkel kepada orang-orang yang kita anggap buruk. Ketika ada orang yang memperlakukan kita dengan jelek, kita berharap bahwa kita bisa membalas kejelekan itu dengan kejelekan kita lagi. Untuk itu kita sering menutup-nutupinya dengan berkata, “Supaya ini jadi pelajaran bagi mereka.”

Dzunnun melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang mengajarkan kepada kita untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan. Bayangkanlah ketika Anda berdoa supaya saingan Anda hancur, agar musuh Anda binasa, Anda akan memperoleh satu manfaat saja: Kepuasan hati karena hancurnya saingan Anda. Tapi ketika Anda berdoa: Ya Allah, ubahlah kebencian musuh-musuhku menjadi kasih sayang, Anda akan mendatangkan manfaat kepada semua orang. Sama seperti doa Dzunnun Al-Mishri.

Dahulu, Nabi Isa as beserta murid-muridnya lewat di depan rombongan pemuda yang ugal-ugalan juga. Mereka bukan saja melakukan tindakan-tindakan maksiat ketika kelompok Nabi Isa datang, mereka juga malah melemparkan batu ke arah Nabi Isa. Nabi Isa berhenti dan memandang mereka untuk kemudian mendoakan kebaikan bagi mereka.

Murid-muridnya bertanya, “Mereka melempari batu ke arahmu tapi mengapa engkau malah membalas dengan doa yang baik?” Nabi Isa menjawab, “Itulah bedanya kita dengan mereka. Mereka kirimkan kepada kita keburukan dan kita kirimkan kepada mereka kebaikan.”

Rasulullah saw dilempari orang di Thaif ketika beliau mengajak mereka kepada Islam sampai kakinya berlumuran darah. Ketika malaikat datang kepadanya menawarkan untuk menimpakan gunung di atas orang-orang yang menyerangnya, Nabi hanya berkata: Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.

Dzunnun Al-Mishri mengajari kita tradisi para nabi dan orang-orang saleh; membalas kejelekan dengan kebaikan. Jadilah kita seperti pohon Mangga di tepi jalan, yang dilempari orang dengan batu tetapi ia mengirimkan kepada si pelempar itu, buah yang telah ranum. Ahsin kamâ ahsanallâhu ilaik, berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.

Di antara perbuatan baik yang sangat tinggi nilainya adalah membalas keburukan orang kepada kita dengan kebaikan. Ini bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan ini adalah ajaran kesucian yang akan membawa kita lebih dekat kepada Allah swt.

Thursday, April 24, 2008

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Temen-temen ini ada cerita yang meninspirasikan, semoga bermanfaat

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan. .."

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita... ,Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.

"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah. Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus. Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."

Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta? Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi. Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir. Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 12 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!" "Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.

Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.

Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.

Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga. Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan. Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya."

Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."

Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!

"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan. Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."

Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

Rery
TNM-20
www.reryindra.blogspot.com

Friday, April 18, 2008

Nasrudin dan Tiga Orang Bijak

Nasrudin dan Tiga Orang Bijak
Pada suatu hari ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Sampailah mereka pada suatu hari di desa Nasrudin. Orang-orang desa ini menyodorkan Nasrudin sebagai wakil orang-orang yang bijak di desa tersebut. Nasrudin dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa menonton mereka bicara.
Orang bijak pertama bertanya kepada Nasrudin, ''Di mana sebenarnya pusat bumi ini?''
Nasrudin menjawab, ''Tepat di bawah telapak kaki saya, saudara.''
''Bagaimana bisa saudara buktikan hal itu?'' tanya orang bijak pertama tadi.
''Kalau tidak percaya,'' jawab Nasrudin, ''Ukur saja sendiri.''
Orang bijak yang pertama diam tak bisa menjawab.
Tiba giliran orang bijak kedua mengajukan pertanyaan. ''Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?''
Nasrudin menjawab, ''Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini.''
''Bagaimana saudara bisa membuktikan hal itu?''
Nasrudin menjawab, ''Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai itu, dan nanti saudara akan tahu kebenarannya.''
''Itu sih bicara goblok-goblokan,'' tanya orang bijak kedua, ''Bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai.''
Nasrudin pun menjawab, ''Nah, kalau saya goblok, kenapa Anda juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?''
Mendengar jawaban itu, si bijak kedua itu pun tidak bisa melanjutkan.
Sekarang tampillah orang bijak ketiga yang katanya paling bijak di antara mereka. Ia agak terganggu oleh kecerdikan nasrudin dan dengan ketus bertanya, ''Tampaknya saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada pada ekor keledai itu.'' ''Saya tahu jumlahnya,'' jawab Nasrudin, ''Jumlah bulu yang ada pada ekor kelesai saya ini sama dengan jumlah rambut di janggut Saudara.''
''Bagaimana Anda bisa membuktikan hal itu?'' tanyanya lagi. ''Oh, kalau yang itu sih mudah. Begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut saudara. Nah, kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya keliru.''
Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung seperti itu. Dan orang-orang desa yang mengelilingi mereka itu semakin yakin Nasrudin adalah yang terbijak di antara keempat orang tersebut.
(dari buku humor sufi II terbitan Pustaka Firdaus)

Rery
TNM-E20
www.reryindra.blogspot.com

Friday, April 11, 2008

Takut Miskin di Akhirat

Takut Miskin di Akhirat

Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.
''Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,'' keluh si pemuda.
''Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!'' Jawab sang kiai.
''Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?''
''Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.''
''Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah...'' jawab pemuda itu dengan kesal.
''Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,'' timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.
''Anda siapa?'' tanya pemuda.
''Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.''
''Ohh... lalu ini istana siapa?''
''Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.''
''Ohh... dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?''
''Betul!''
''Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?''
''Betul sekali.''
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
'
'Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,'' kata pemuda penuh keriangan.
''Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.''
''Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?''
''Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.''
''Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,'' ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak.
[dari parodi sufi].

rery
TNM-E20
www.reryindra.blogspot.com

Monday, April 7, 2008

Dua Keinginan

Dua Keinginan

Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.

Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.

Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!"
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."

Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."

Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.

Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."

"Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."

(dari "Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)

Rery Indra
TNM-E20
www.reryindra.blogspot.com

Wednesday, March 12, 2008

Bersyukur

Ini ada kisah menarik untuk dibaca diambil dari postingan teman, selamat menikmati :

Alkisah ada dua orang anak laki-laki, Bob dan Bib,yang sedang melewati lembah permen lolipop. Di tengah lembah itu terdapat jalan setapak yang beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama.Uniknya, dikiri-kanan jalan lembah itu terdapat banyak permen lolipop yang berwarni-warni dengan aneka rasa. Permen-permen yang terlihat seperti berbaris itu seakan menunggu tangan-tangan kecil Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka.

Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen lollipop yang bias diambil. Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut. Ia mempercepat jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop lainnya yang terlihat sangat banyak didepannya.

Bob mengumpulkan sangat banyak permen lolipop yang ia simpan di dalam tas karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut tapi sepertinya permen-permen tersebut tidak pernah habis
maka ia memacu langkahnya supaya bisa mengambil semua permen yang dilihatnya.

Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop. Dia melihat gerbang bertuliskan Selamat Jalan". Itulah batas akhir lembah permen lolipop.

Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-permennya lezat? Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa mangga? Itu juga sangat lezat." Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi.

Ia merasa sangat lelah dan kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak permen lolipop yang terasa berat di dalam tas karungnya. Tapi ada satu hal yang membuatnya
merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu, "Permennya saya lupa makan!"
Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan lembah permen lolipop. "Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya memanggil-manggil kamu tapi kamu sudah sangat jauh di depan saya." "Kenapa kamu memanggil saya?" tanya Bob. "Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama. Rasanya lezat sekali. Juga saya menikmati pemandangan lembah, indah sekali!"

Bib bercerita panjang lebar kepada Bob. "Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami makan bersama dan
dia banyak menceritakan hal-hal yang lucu. Kami tertawa bersama." Bib menambahkan.

Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal yang telah ia lewatkan dari lembah permen lolipop yang sangat indah. Ia terlalu sibuk mengumpulkan permen-permen itu. Tapi pun ia sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu sibuk memasukkan
semua permen itu ke dalam tas karungnya.

Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop, Bob menyadari suatu hal dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Perjalanan ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia."

Ia pun berkata dalam hati, "Waktu tidak bisa diputar kembali." Perjalanan di lembah lolipop sudah berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali perjalanannya.

Dalam kehidupan kita, banyak hal yang ternyata kita lewati begitu saja. Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati kebahagiaan hidup. Kita menjadi Bob di lembah permen lolipop yang sibuk
mengumpulkan permen tapi lupa untuk menikmatinya dan menjadi bahagia.

Pernahkan Anda bertanya kapan waktunya untuk merasakan bahagia? Jika kita tanyakan pertanyaan tersebut kepada para rekan kita, biasanya mereka menjawab, "Saya akan bahagia nanti... nanti
pada waktu saya sudah menikah... nanti pada waktu saya memiliki rumah sendiri... nanti pada
saat suami saya lebih mencintai saya... nanti pada saat saya telah meraih semua impian saya...
nanti pada saat penghasilan sudah sangat besar... "

Pemikiran 'nanti' itu membuat kita bekerja sangat keras di saat 'sekarang'. Semuanya itu supaya kita bisa mencapai apa yang kita konsepkan tentang masa 'nanti' bahagia.

Terkadang jika kita renungkan hal tersebut, ternyata kita telah mengorbankan begitu banyak hal dalam hidup ini untuk masa 'nanti' bahagia. Ritme kehidupan kita menjadi sangat cepat tapi rasanya tidak pernah sampai di masa 'nanti' bahagia itu. Ritme hidup yang sangat cepat... target-target tinggi yang harus kita capai, yang anehnya kita sendirilah yang membuat semua target itu... tetap semuanya itu tidak pernah terasa memuaskan dan membahagiakan.

Uniknya, pada saat kita memelankan ritme kehidupan kita; pada saat kita duduk menikmati keindahan pohon bonsai di beranda depan, pada saat kita mendengarkan cerita lucu anak-anak kita, pada saat
makan malam bersama keluarga, pada saat kita duduk bermeditasi atau pada saat membagikan
beras dalam acara bakti sosial tanggap banjir; terasa hidup menjadi lebih indah.

Jika saja kita mau memelankan ritme hidup kita dengan penuh kesadaran; memelankan ritme makan kita, memelankan ritme jalan kita dan menyadari setiap gerak tubuh kita, berhenti sejenak dan
memperhatikan tawa indah anak-anak bahkan menyadari setiap hembusan nafas maka kita akan
menyadari begitu banyak detil kehidupan yang begitu indah dan bias disyukuri.

Kita akan merasakan ritme yang berbeda dari kehidupan yang ternyata jauh lebih damai dan tenang. Dan pada akhirnya akan membawa kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur seperti Bib yang melewati
perjalanannya di lembah permen lolipop.

TNM-E20
www.reryindra.blogspot.com